Ahad (19/2) siang itu semestinya kami memilih tidak makan daging lagi. Malam sebelumnya, saya dan rombongan gurunda pesta daging kambing di Kaligua, Brebes. Abu Nisaa Rifai, saudara seagama saya menyembelih seekor kambing muda balibul yang dimasak sop, gule kepala dan sate.
“Engkau masih seperti yang dulu,” begitu saya bilang ke Abu Nisaa Rifai. Maksudnya, olahan daging kambing masakannya tidak berubah; tetap enak.
Pun begitu rombongan Abu Fatih Risman. Sehari sebelumnya mereka sudah wisata kuliner empal gentong di Cirebon dan tongseng di Temanggung. Abu Fatih Risman bersama ikhwan Bandung lainnya berziarah ke Ma’had Dhiya’us Sunnah Cirebon dan Ma’had Darul Atsar Temanggung. Bersama Abu Fatih Risman ada Abu Rayhan Reza, Abu Rafa, Abu Qowiy Ahmad, Abu Fauzan Taopik dan Firmansyah.
Nah, ketika saya bertemu dengan rombongan mereka di Yogyakarta pada Ahad siang, kami sepakat kulineran daging. Apa lagi kalau bukan sate klatak, salah satu kuliner khas Yogyakarta. Meski sehari sebelumnya perut kami sudah dijejali daging, tawaran makan sate klatak tak bisa ditolak.
“Kalau ke Yogyakarta, cari makanan yang legend dong,” kata Abu Rafa yang setuju makan siang sate klatak.
Destinasi kami siang itu adalah Sate Klatak Mak Adi. Lokasinya di Jl. Imogiri Timur KM 9, Jati, Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Patokannya seberang SPBU. Dulu saya dan Abu Fauzan Taopik sering ke sana,” ujar Abu Qowiy Ahmad yang merekomendasikan tempat tersebut.
Siang itu warung Sate Klatak Mak Adi ramai pengunjung. “Qorinah yang bagus,” batin saya. Apalagi terlihat tungku api berbahan kayu bakar sebagai alat memasak menu masakan berkuah. Qorinah yang kuat, masakan jaminan sedap.
Saya dan rombongan segera memilih tempat dan memesan makanan. Saya pilih seporsi sate klatak dan tongseng kepala kambing plus es jeruk tawar.
Mungkin karena ramainya pengunjung siang itu, kami harus menanti agak lama orderan datang. Namun begitu sate klatak dan tongseng kepala kambing terhidang, penantian saya tak sia-sia.
Kuah tongsengnya sedap, isian daging dari kepala kambingnya lembut. Sate klataknya juga empuk meski ketika dibakar tidak dibumbui hanya taburan garam. Hanya kuah gulai di sate klatak yang bagi lidah saya belum terbiasa. Jadi saya pilih bumbu kecap untuk menikmatinya. Toh, saya sudah punya kuah tongseng yang ketika saya tambahi merica, irisan cabe dan kecap rasanya makin pas di lidah saya.
Alhamdulillah…
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
0 Komentar