Kopwah (kopi ukhuwah) di ma’had di Senin pagi adalah di luar kelaziman. Hari Ahad malam biasanya saya dan rombongan gurunda sudah kembali di Ma’had Darul Atsar Tasikmalaya (Madasta).

Nah, di pekan akhir Januari lalu jadwal kami keluar dari pakem. Ahad (29/1) siang seusai dauroh Wonosobo rombongan gurunda bukan pulang melainkan melanjutkan perjalanan ke Temanggung. Gurunda dijadwalkan menjadi pemateri dauroh di Pondok Pesantren Darul Atsar Temanggung.
Jadilah saya seduh kopwah di Senin (30/1) pagi itu. Meski di luar kelaziman, sungguh mengesankan. Sebab, inilah kali pertama bagi saya mengunjungi Pondok Pesantren Darul Atsar Temanggung. Saya juga akhirnya bisa bertemu lagi dengan gurunda di sana, al Ustadz Qomar ZA, Lc hafidzahullah setelah sekian lama tak bersua.
Pagi itu saya seduh kopi arabika Sumbing proses natural sebelum sarapan. Setelah sarapan giliran arabika Dawuhan wine yang saya mainkan dengan perkakas V60 Hario.
Sungguh kopwah pagi Senin yang menyenangkan bagi saya. Apalagi saya jadi banyak mendapatkan hal baru ketika obrolan ringan membahas tentang makanan khas.
Di Bandung nama makanan atau jajanan biasanya berupa akronim. Semisal cireng (aci digoreng), cilok (aci dicolok), cuanki (cari uang jalan kaki), basreng (baso goreng) dan sebagainya.
Lain halnya di Temanggung. Nama-nama makanan khas mereka terbilang di luar kelaziman. “Kalau di sini (Temanggung, Red.) singkong disebut jenderal,” ujar al Ustadz Qomar Suaidi ZA, Lc. Gurunda kemudian melanjutkan sedangkan daun singkong yang digoreng namanya kopral.
“Di sini ada juga makanan yang namanya ndas borok,” imbuh salah satu saudara seagama saya di Temanggung yang ikutan kopwah Senin pagi itu.
Ndas borok (bahasa Jawa) yang berarti kepala borokan. Terbuat dari jenderal (singkong) dan kelapa parut dengan taburan gula jawa atau aren.
Ada lagi olahan jenderal yang memiliki nama yang tidak lazim. Jenderal (singkong) yang direbus dengan air gula aren dan santan. Namanya, bajingan.
Konon, makanan tersebut biasa disajikan untuk kusir gerobak sapi yang disebut bajingan. Makanan spesial bagi mereka di masa lalu ketika berkumpul sesama bajingan.
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
1 Komentar
Abah Deddy · 24 Februari 2023 pada 14:14
Assallamualaikum, upami abah MN Tabroni saha? nu gaduh pasanten/masjid? salam silaturahmi ka sepuh