
Sebagai penyuka kopi, terus terang saya kurang suka teh. Meski keduanya mengandung kafein, hati ini lebih condong ke kopi.
Namun suatu ketika hati ini jatuh hati ke teh. Itu terjadi ketika saya dan bersama teman berkunjung ke desa Taman kelurahan Pandansari, kecamatan Paguyangan kabupaten Brebes. Desa tersebut dekat dengan obyek wisata perkebunan teh Kaligua.
Ketika itu kami disuguhi makanan dengan menu yang sederhana namun nikmat luar biasa. Nasi hangat dengan sayur tegean, sambel terasi dan ayam goreng.
Nah, setelah itu tuan rumah menawari kami teh. Jujur, saya sempat underestimate karena ritual saya setelan makan adalah minum kopi. Namun saya agak tergoda ketika tuan rumah mengabarkan jika tehnya diolah secara tradisional. Apalagi ketika baunya yang menyengat, seperti bau sangit sesuatu yang terbakar.
Saya pun kian penasaran. Namun anehnya bau sangit itu justru menambah sensasi rasa tersendiri yang tidak menodai rasa keset khas teh. Sebuah rasa yang belum pernah saya peroleh sebelumnya. Alhasil, ritual minum kopi setelah makan pun digantikan dengan menyesap teh. Apalagi cuaca dingin saat itu menambah kadar kenikmatan.
“Itu namanya teh goreng sangan,” ujar Rifai, teman yang kami kunjungi di Paguyangan. “Sangan itu bahasa sini yang artinya sangrai.”
Menurut Rifai, teh goreng sangan sudah dikenal lama di tempatnya. Apalagi daerah tersebut merupakan dataran tinggi yang cocok ditanami teh. Selain diproses secara modern di pabrik, beberapa masyarakat sekitar masih ada yang mengolah daun teh untuk siap konsumsi dengan cara tradisional.
Penasaran pengin mencoba teh goreng sangan?
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
0 Komentar