Tahun ini 2021, sudah 76 tahun Indonsia merdeka. Jejak langkah negeri ini cukup berliku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 bahkan jauh sebelum itu. Berbagai tantangan dan rintangan jaman turut menjadi saksi proses berkembangnya negeri ini menjadi merdeka, terbebas dari penjajahan bangsa asing.
Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis hingga Belanda pernah menjadikan negeri ini sebagai tujuan utama dalam mencari komoditas perdagangan. Tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaan. Komoditas apa yang mereka cari di negeri ini?
Bukan emas atau berlian, ternyata jawabannya adalah rempah-rempah. Mengapa? Ada apa dengan rempah-rempah hingga berbagai bangsa di Eropa seolah berlomba-lomba datang ke negeri ini?
Pada mulanya rempah-rempah hanya dianggap sebagai bahan medis semata. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Theophrastus (sekitar 372-287 SM) bahwa rempah-rempah seperti lada masih banyak digunakan tabib daripada juru masak. (Turner,2011: 59). Seiring berjalannya jaman dan peradaban manusia yang terus berubah, maka peranan rempah-rempah pun semakin beragam.
Abad ke 14 dan 15, Benua Eropa sedang dilanda demam rempah-rempah. Juru masak istana Prancis bernama Taillvent menyusun buku masak bertajuk Viandier (pemakan daging). Ia menyatakan bahwa bahan โbahan masak standar di Eropa biasanya memuat secara terpisah 20 jenis rempah. Selain itu, beberapa buku masak di Inggris ketika itu kurang dari 90% resep makanan di sana mengandung rempah-rempah. (Freedman, 2008:19-20).
Rempah-rempah berkembang menjadi bumbu penyedap, menutupi rasa tidak enak dan bau dari makanan hingga menjaga kondisi makanan agar tetap segar. Ketika daun, biji, akar, dan getah dari rempah-rempah memiliki rasa dan aroma yang dinilai menyenangkan, secara bertahap hal ini menjadikannya sebagai komoditas ekonomi.
Keuntungan dalam perniagaan rempah-rempah begitu fantastis, bahkan hampir tidak masuk akal. Seorang pedagang Arab pernah mengatakan bahwa jika ia membawa enam perahu bermuatan rempah-rempah dan kehilangan lima perahu lainnya di tengah jalan, maka keuntungan yang diraihnya dari satu perahu yang tinggal itu masih lumayan (M. Adnan Amal, 2006: 146).
Ketika anak buah Magellan tiba di Tidore pada 1521 dan memenuhi kapalnya dengan cengkih, beberapa orang Portugis yang kebetulan berpapasan dengan mereka bertanya tentang harga beli cengkih dari Sultan Tidore, Almansur. Setelah memperoleh jawaban, orang-orang Portugis itu menyatakan bahwa harga yang dibayar untuk barang tersebut terlalu mahal, bahkan ada indikasi bahwa orang-orang Spanyol itu telah ditipu. Dengan senyum, orang-orang Spanyol mengatakan bahwa cengkih yang mereka beli itu sama saja dengan mereka dapatkan secara cuma-cuma.
Datu Jamal Ashley Abbas menyebutkan harga rempah-rempah pada abad ke-16 di pasaran lokal dan internasional dapat di kemukakan sebagai berikut: Cengkih 1 bahar (456 lb) di pasaran lokal seharga 1 sampai 2 ducat. Di Malaka 1 bahar bisa berharga 10 sampai 14 ducat. Sementara di Calcutta sekitar 500 hingga 600 fanam (1 fanam = 1 real), dan untuk cengkih kualitas utama seharga 700 fanam. Pada 1600, 10 pon cengkih di Maluku โ seharga setengah penny per-pon โ 9 bila dijual di Eropa, akan menghasilkan keuntungan sebesar 32.000 persen.
Pada abad pertengahan, rempah-rempah menjadi barang mewah di Eropa. Harga jualnya yang sangat tinggi di pasaran Eropa membuat para pedagang berusaha mati-matian membawanya ke sana, sekalipun dengan berbagai resiko tinggi yang mesti dihadapi di sepanjang jalur perniagaan.
Selain demam rempah-rempah pada makanan, pada abad 15 para penguasa kerajaan, pedagang, dan petualang turut ambil bagian dalam eksplorasi rempah-rempah ke berbagai tempat, terkhusus negeri ini. Puncaknya pada abad 16 para petualang dari Eropa membuat berbagai ekspedisi khusus untuk melakukan eksplorasi rempah-rempah. Inilah yang menjadi tonggak awal munculnya kekuasaan Eropa di negeri ini.
Sejarah tidak hanya sebatas menyajikan data dan fakta semata. Di sana ada nilai-nilai kemanusiaan yang dapat kita ambil. Betapa keuntungan ekonomi menjadi salah satu latar belakang penjajahan bangsa-bangsa asing di negeri ini. Tidak melihat mana lawan dan mana kawan, semuanya dilakukan untuk mencapai tujuan utama.
Negeri Indonesia ini kaya akan rempah-rempah yang sangat dicari oleh bangsa-bangsa di Eropa. Sudah sepantasnya kita bersyukur tinggal di negeri yang kaya akan alam terkhusus rempah-rempah ini. Sudah selayaknya kita memanfaatkan kekayaan alam ini untuk kelangsungan kehidupan anak cucu hingga generasi selanjutnya. Merdeka!
Rujukan:
Datu Jamal Ashley Abbas, “Mindanao and the Spice Island,” The Philippine Post, 11 Maret 2000.
Fadly Rahman, 2019, Negeri Rempah-rempah: Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempahโ dalam jurnal Patanjala Vol. 11 No. 3 September 2019: 347-362
M. Adnan Amal, 2006, Kepulauan Rempah-Rempah Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta
2 Komentar
Ranimouri · 17 Agustus 2021 pada 19:13
Terima kasih ilmunya, sangat bermanfaat sekali ๐๐
Bagus · 19 Agustus 2021 pada 10:41
sama sama, nantikan postingan kami berikutnya ya…