Ada beberapa nama untuk menyebut lampu gantung lawas ini. Di antaranya adalah lampu kerek, lampu katrol dan lampu Betawi. Disebut lampu kerek atau katrol karena lampu tersebut bisa dikerek atau dikatrol, sehingga posisi kap lampu bisa dinaik-turunkan. Katanya, lampu ini jadi perkakas wajib yang harus terpajang di rumah Betawi.
Ini salah satu lampu lawas yang saya sukai. Ukuran lampu ini 28, merujuk ke diameter kap lampu dalam satuan cm. Ukuran yang “umum”, dalam artian jumlah ketersediaan barang masih banyak di pasaran. Semakin besar ukuran diameter kap lampu (ada ukuran 35 dan 40, sepanjang pengetahuan saya), semakin mahal harganya.
Adalah bahan kap lampu dari lampu ini yang yang bisa dibilang indikator dari keorisinalan lampu kerek. Bahan kap lampu bukan kaca, melainkan kristal porselain. Jika rangka asli (orisinal produk lawas) namun kapnya sudah pakai produk baru, bisa dibilang lampu tersebut tidak lengkap dan tidak orisinal.
Ada beberapa macam kap lampu kerek. Sepengetahuan saya, ada kap lampu wadon (= perempuan karena ada lekukan yang diistilahkan pinggul), lanang (=laki-laki, tidak ada lekukan di pinggir kap). Satu lagi, kukusan karena bentuknya seperti kukusan untuk nasi di jaman dulu.
Saya tidak tahu dari mana dan kapan lampu kerek mulai beredar di Indonesia. Ada yang menyebut lampu ini sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Yang pasti lampu ini ada sebelum listrik karena menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Sementara sejarah kelistrikan di negeri ini baru dimulai pada tahun 1897. Ketika itu berdiri perusahaan listrik pertama yang bernama Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij [NIEM] di Batavia berkantor pusat di Gambir. (Abu Zakariyya Tabroni)
0 Komentar