Kopi. Kata tersebut langsung terlintas di benak saya ketika mendengar kata ‘Lampung’. Ketika dipastikan ikut mengantar gurunda ke Lampung, saya sudah membayangkan segelas kopi tubruk robusta Lampung. Hitam pekat dan pahit. Jujur apa adanya tanpa berpura-pura manis.
Sabtu (13/1) bertepatan dengan kumandang azan Maghrib, kami –saya, gurunda, Abu Faqih Ginanjar– memasuki kota Metro, Lampung. Titik tujuan kami adalah Ma’had Ittibaaus Salaf, Metro. Alhamdulillah kami masih sempat ikut sholat Maghrib berjamaah di masjid ma’had. Usai sholat, kami pun sejenak beristirahat.
Abu Hamzah Edo, salah satu saudara seakidah saya di ma’had tersebut menawarkan kopi. Ini yang saya tunggu-tunggu. Segelas kopi tubruk dari bubuk kopi yang disangrai tidak gelap –cenderung coklat– tersaji di hadapan saya .
“Ini kopi buahnya petik merah. Merknya AKL. Agen Kopi Lampung,” kata Abu Hamzah Edo menjelaskan.
Saya terkejut setelah kopi diseruput. Kopi petik merah itu rasanya tidak seperti kopi Lampung yang pernah saya coba sebelumnya. Tidak terlalu pahit. Masih bisa dinikmati meski tanpa tambahan gula..
Sepertinya saya belum tahu banyak tentang kopi Lampung. Di keesokan hari di dauroh gurunda di Masjid Babussalam, Bandar Lampung, Abdul Qohar –salah satu panitia dauroh– menawari saya arabika Lampung.
Arabika Lampung? Terus terang saya baru mendengar kopi arabika ada di Lampung. Referensi yang saya ketahui, Lanpung adalah daerah penghasil kopi robusta terbesar di negeri ini. Makanya Lampung identik dengan robusta.
Saya semakin kaget karena panitia melibatkan seorang barista untuk seduh kopi di dauroh gurunda. Namanya Muhammad Amar Rosuli. Lelaki berusia 24 tahun yang bekerja sebagai roaster (tukang sangrai) di Rumah Produksi Kopi Bubuk DeLampoeng Coffee dan Abu Hanif Roastery.
“Kopi Arabika Lampung ditanam di daerah Sekincau dengan ketinggian 1.200 MDPL. Pakai varietas Ateng Super. Nama petaninya Mas Supri,” ujar Amar, begitu dia biasa disapa.
Amar seduh kopi Arabika Lampung dengan metode V60. Rasio kopi dan air, 1:17 dengan suhu air 90⁰C. Rasanya? Ada oranye, manis aren, dan rempah-rempah. Sesaat mengingatkan saya pada kopi Malabar.
Siang seusai dauroh, acara ngopi-ngopi berlanjut di rumah salah seorang panitia dauroh yang bernama Pak Wahid. Kali ini Amar menyajikan kopi durian. MasyaAllah, enak banget. Pahitnya robusta roasting gelap dibungkus manisnya durian.
Lampung seakan tak pernah kehabisan cerita tentang kopi. Menjelang kepulangan kami, saya disuguhi Kopi WC di Kalianda.
Dalam perjalanan pulang dari Bandar Lampung menuju Pelabuhan Bakauheni, kami mampir ke Kalianda. Gurunda diminta untuk menberikan tausiyah di Rumah Belajar Al Husna.
Begitu datang, salah seorang pengurus menawarkan kopi robusta. Namanya Abu Reza. Saya biarkan beliau menyeduh kopi meski tanpa timbangan seperti yang biasa saya lakukan. Saya yakin, Abu Reza menyeduh dengah hati. Hasil seduhan pasti akan membekas di hati. Biidznillah.
“Kopinya enak, kan?” tanya Abu Reza. “Ya,” jawab saya tanpa basa-basi. Kopi seduhan Abu Reza memang enak, meski bubuk kopi terlihat legam. Tidak kelewat pahit yang ‘menyakitkan’.
“Ini namanya Kopi WC,” ujar Abu Reza sembari tertawa.
Kopi WC yang dimaksud karena lokasi penjual kopi tanpa merk itu dekat dengan WC di sebuah pasar. Makanya orang-orang Kalianda menyebutnya sebagai Kopi WC.
What’s in a name?. Apalah arti sebuah nama. Kopi apa pun embel-embel namanya selalu nikmat dan menyimpan kenangan tersendiri.
Kopi-kopi di Lampung diseduh oleh orang-orang yang baru pertama kali kami jumpai. Namun kali pertama berjumpa langsung terikat oleh tali cinta. Cinta dan benci karena Allah ‘azza wa jalla.
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penyuka kuliner dan penikmat kopi yang saat ini lagi ‘nyantri’ di Madasta)
FOTO: ABU FAQIH GINANJAR
2 Komentar
Baba · 18 Januari 2024 pada 12:57
Semoga ke-ukuhwahan kita selalu tersambung sampai akhir hayat kelak.
Bagus · 25 Januari 2024 pada 20:16
aamiin. Jazakallahu Khoiron sudah mampir