Makanan biasa jika dimakan bersama orang-orang yang tidak biasa, rasanya menjadi luar biasa.Apalagi jika makanannya luar biasa dinikmati bersama orang-orang tercinta. Masya Allah. Sungguh membekas di hati dan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Insya Allah.
Begitulah gambaran pengalaman kami –saya, gurunda dan Abu Faqih Ginanjar– berkunjung ke Lampung di pertengahan Januari 2024. Bagi saya pribadi, ini kali pertama bertandang ke daerah tersebut.
Alhamdulillah. Saya dan Abu Faqih Ginanjar diberikan kesempatan untuk mengantar gurunda — al Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafidzahullah— yang melakukan safari kajian Islam di Lampung (13-14 Januari 2024). Yakni di Ma’had Ittibaaus Salaf Metro, Masjid Babussalam di kompeks Dinas Ketahanan Pangan Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Lampung, Bandar Lampung, dan Rumah Belajar Al Husna, Kalianda.
Nah, ketika menemani kunjungan gurunda, kami dijamu masakan khas Lampung: pindang dan sambal seruit. Bukan pindang yang berupa ikan yang dibumbui atau digarami kemudian diasapi agar bisa tahan lama, ya. Melainkan ini pindang berupa olahan masakan ikan berkuah dengan kaya rempah yang berasa segar dan pedas.
Sebagai penyuka pedas, saya sangat menyukai kuah pindang. Apalagi tekstur daging di kepala ikan baung dan simba yang lembut dan berlemak. Masya Allah.

Yang makin membuat saya suka, untuk pertama kalinya saya mencicipi sambal seruit khas Lampung. Sambal terasi yang pedas dan segar karena ada irisan mangga muda. Plus, ada tambahan tempoyak (fermentasi durian) yang dicampur ke sambal. Sensasi baru bagi saya. Pedas, segar, dan durian banget.

Sungguh, sajian yang sangat spesial di dua hari itu. Apalagi ketika menyantap ditemani orang-orang yang luar biasa. Makan di malam Ahad di Metro, kami ditemani al Ustadz Adi Abdullah (pengasuh Ma’had Ittibaaus Salaf Metro), Abu Abdurrahman Sunarto dan pengurus ma’had. Makan siang di Ahad di Bandar Lampung usai dauroh ditemani Abdul Malik Faros, Pak Agus Widodo, asatidzah dan panitia dauroh Bandar Lampung. Makan malam di Ahad di Kalianda, ditemani al Ustadz Abu Umair, Abu Hafshoh, dan Abu Reza. Hafidzahumullah.
Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan penjagaan kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Orang-orang yang mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk tegaknya dakwah ahlussunah di Bumi Pertiwi.
Orang-orang yang tanpa disadari mereka telah membuat catatan sejarah dakwah ahlussunah di Lampung. Biidznillah. Anak cucu –generasi mendatang– akan mewarisi cerita tentang orang-orang luar biasa itu. Orang-orang yang tak terlupakan oleh sejarah.
Saya jadi teringat perkataan gurunda ketika kami berkumpul menikmati makanan dan minuman. “Sungguh bukan soal makanan dan minuman yang kita nikmati dan rasakan. Tapi soal kebersamaan, kekompakan, dan ukhuwah yang kita jaga dan pertahankan,” ujar gurunda.
Amin.
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penyuka kuliner dan penikmat kopi yang saat ini lagi ‘nyantri’ di Madasta)
0 Komentar