Jumat (26/5) pukul 16.00 WIB, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-136 landing di Bandara HAS Hanandjoeddin. Bandar udara internasional yang terletak di Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Perjalanan sejauh 157 km itu memakan waktu 55 menit.

JT-136 adalah pesawat Boeing 737-800 yang menerbangkan rombongan saya dari Jakarta ke Belitung, daerah yang untuk pertama kalinya saya kunjungi. Sebuah kepulauan yang terletak di bagian timur Pulau Sumatra. Semula termasuk bagian dari Provinsi Sumatra Selatan. Namun di tahun 2000 diputuskan Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.27 Tahun 2000.

Saya memang ingin sekali mengunjungi kepulauan tersebut. Dalam riwayat perjalanan dinas liputan saya semasa menjadi jurnalis dulu (1994-2014), Kepulauan Bangka Belitung termasuk pulau yang belum pernah saya injak. Pulau-pulau besar di nusantara, kecuali Papua, sudah saya datangi. Sedangkan untuk benua, benua Australia dan Afrika yang belum sempat saya sambangi.

Alhamdulillah. Saya sangat bersyukur akhirnya bisa datang ke Belitung. Saya bersama gurunda al Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafidzahullah dan teman saya, Abu Ibrahim Javi. Gurunda memenuhi undangan untuk mengisi serangkaian kajian Islam ilmiah yang diselenggarakan oleh Ma’had Dhiya-ul Qur’an, Tanjung Pandan Belitung pada 26-29 Mei 2023.

Saya datang tanpa ada target dan tuntutan deadline seperti halnya ketika perjalanan dinas liputan semasa bekerja dulu. Biasanya, selama di pesawat, pikiran saya mulai merancang artikel yang akan ditulis nanti. Saya juga merinci siapa narasumber yang akan diwawancarai. Jika liputan tanpa fotografer, saya memikirkan pula foto apa untuk kebutuhan artikel nanti.

Sekarang saya datang ke Belitung tanpa beban pikiran. Santuy. Selama di pesawat saya sudah membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Bisa mengikuti rangkaian kajian Islam ilmiah gurunda dan bertemu dengan saudara-saudara ahlussunnah di sana. Kemudian berharap, siapa tahu bisa pergi ke pantai Tanjung Tinggi alias pantai Laskar Pelangi.

Alhamdulillah, di hari terakhir kunjungan tersebut kami berkesempatan mengunjungi pantai Tanjung Tinggi. Kami datang di sana sekitar jam 7 pagi. Pantai masih sepi.

MasyaAllah. Pantai yang indah, pasir putih yang bersih, air yang jernih dengan gugusan bebatuan raksasa yang berdiri anggun.

Seperti di Raja Empat,” kata gurunda.

Tak ada ombak, karena di bulan April hingga Oktober bukan musim ombak. Saya melihat pantai itu bak kolam luas tak bertepian sejauh mata memandang.

Kami menikmati keindahan pantai Tanjung Tinggi dengan kopi arabika Gayo wine produk Toobagus Kopi. Sungguh nikmat sekali. Sampai-sampai gurunda menuliskan puisi apik untuk mengambarkan suasana pagi itu:

Kopi pagi disini…
Di pantai Laskar Pelangi…
Sungguh indah ciptaan Ilahi..
Ku titip rindu yg mengisi hati…
Tuk saudara2 ku yg kucintai…

(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *