Berawal dari kebingungan seorang Ikhwan yang tinggal di Bandung, tapi berasal dari luar pulau Jawa, dan pastinya bukan bersuku Sunda.
Ikhwan ini, selama tinggal di Bandung, sering merasa heran ketika bertamu ke rumah Ikhwan lain yang asli orang Sunda, karena selalu ada ungkapan yang diucapkan kebanyakan orang Sunda, yakni ketika mempersilahkan tamunya agar menikmati kudapan atau sajian, yaitu ungkapan: ”mangga dicobian opieun na” atau ”ngopi jagong heula yuk!”, padahal saat itu, tidak ada sajian kopi dalam bentuk apapun dihadapannya.
Kata ”ngopi” atau”opieun” yang sering diucapkan orang Sunda sekarang, difahami sebagai menikmati ”kudapan” atau makanan ringan diluar makanan pokok seperti nasi dan lauknya.
Usut punya usut, ternyata ungkapan ”ngopi” dan ”opieun” itu bukan tanpa sebab. Kita bisa terbangkan fikiran kita untuk kembali hadir di tahun 1700-an. Kopi adalah salah satu primadona komoditas dunia kala itu, kebutuhana kopi dunia saat itu, disuplai hampir separuhnya dari tanah Jawa, utamanya dari daerah Cianjur, sebagai ibukota keresidenan Priangan barat, sampai akhirnya pada 1864, ibu kota keresidenan Priangan berpindah ke Kota Bandung. Tercatat ada 1 juta lebih pohon kopi ditanam di Cianjur saat itu.
VOC sebagai perusahaan dagang kerajaan Belanda kala itu, seolah menemukan tambang ”emas hitam” ditanah jajahannya, dan menerapkan Preangerstelsel, yakni sistem tanam perkebunan di Priangan.
Penanaman di perkebunan berfokus pada komiditas yang laku di pasar dunia, saat itu salahsatu yang terbilang tinggi nilai jualnya adalah kopi.
Bayangkan saja, dengan penghasilan kopi dari tanah Cianjur saat itu, VOC bisa memperluas wilayah tanah jajahannya, membayar hutang kemerdekaannya kepada kerjaan Spanyol, dan menjadi pesaing ketat Perusahaan dagang EIC milik kerajaan selevel Inggris yang memiliki tanah Hindustan sebagai mesin pencetak cuan mereka.
Maka tak ayal lagi, ketenaran citarasa kopi Jawa, terkhusus singel origin nya Cianjur, begitu menjadi idola dalam aroma dan rasa. Baik di belahan benua Asia, hingga ke benua biru di Eropa, pada zaman itu.
Jejak yang tersisa dari perkebunan kopi di Cianjur saat ini, mungkin bisa kita lacak dengan adanya suatu daerah bernama kampung kebon kopi, desa cisalak, kecamatan ”konoha”(Cidaun) Kabupaten Cianjur.

Dari sini kita bisa faham, betapa kopi dan masyarakat Sunda, begitu kental menyatu. Sehingga kebiasaan mengkonsumsi kopi disertai kudapan, sudah menjadi kebudayaan di tengah kasundaan nya, dan begitu larut hingga kata ”ngopi” dijadikan istilah umum sebagai ”penanda” bahwa dulu, orang Sunda tidak akan memakan kudapan atau camilan, kecuali ada secangkir kopi sebagai teman pemandu citarasa yang kaya pada saat itu.
Sayang memang, era kejayaan kopi Jawa sudah berlalu, karena merebaknya penyakit karat daun saat itu, yang sempat mengakibatkan raibnya varietas arabica Jawa dan tergantikan oleh varietas Liberica yang dinilai lebih tahan hama, namun memiliki kualitas dibawahnya.
Sebagaimana Kopi Jawa, begitulah juga hidup, (sekalipun) akan selalu ada akhir dalam putaran kejayaan disuatu zaman, maka yakinlah, (seharusnya) akan selalu ada awal yang indah untuk memulai kembali kebaikan dan memperbaiki kesalahan.
Sekalipun jasa seseorang terlihat kecil, bahkan mungkin nyaris nyihil karena nyaris tak terlihat, tapi ingatlah! keikhlasan dan pengorbanan seseorang tetap harus diapresiasi.
Belajar dari orang Sunda, Sekalipun tanpa secangkir ”kopi”, orang Sunda tak pernah lupa bagaimana ”menghargai” nikmatnya ”ngopi” ditemani ”opieun/kudapan”.
Sementara pada hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam yang diterima dari Abu Huroiroh Radhiyallahu anhu, beliau bersabda:
لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (Hadits riwayat Abu Dawud, di shahihkan oleh syeikh Albani rohimahulloh)
Wallahu ta’ala a’lam
Penulis: Abu Lubna Ari [Muhamad Nurul Haq] orang Sunda penyuka kopi.
0 Komentar