Saya bersyukur tinggal di Manglayang. Dekat dengan ma’had tempat bungsu saya sekolah. Cuma berjarak sekitar 500 meter dari rumah saya. Alhamdulillah.

Cuacanya juga menyenangkan. Sejuk. Perumahan saya berada sekitar 800 mdpl. Posisinya di kaki Gunung Manglayang. Di musim kemarau suhu udara bisa menapai 18°C. MasyaAllah.

Yang lebih menyenangkan lagi, saya punya banyak teman penyuka kopi. Lazim bagi mereka memiliki alat seduh kopi, minimal set V60 lengkap. Ada Abu Musa Riki, Abu Harits Deda, Abu Dihyah dan Abu Sa’id Faishal. Khusus nama terakhir, bisa dibilang dia punya alat seduh paling lengkap. Dari yang manual hingga mesin, termasuk mesin kopi espresso.

Yang tambah bikin makin menyenangkan lagi, Abu Sa’id Faishal kerap mengundang kami untuk minum kopwah (kopi ukhuwah) di rumahnya. Biasanya dia seduhkan kopi V60 dan cappuccino.

Cappuccino bikinan Abu Sa’id Faishal tak perlu diragukan lagi. Rasanya enak, tampilannya juga cantik. Tak perlu ditambahi gula karena susu full creamnya sudah manis dan gurih. Pahit kopi dan manis susunya selaras. Pas.

Namun jujur, suatu ketika saya justru tertarik dengan kopi V60-nya. Rasanya unik. Ada manis kecut keset nanas dan gurih yang tipis. “Nano-nano,” kata lelaki yang bekerja di Institut Pendidikan Dalam Negeri itu.

Saya pun jadi penasaran. Saya bertanya-tanya. Hehehe..

Pakai kopi koji,” jawab lelaki asli Luwuk itu.

Kopi koji?

Ikhwan yang seduhan kopinya disukai gurunda al Ustadz Muhammad As Sewed hafidzahullah itu kemudian mengirimkan link kopi koji. Dari link tersebut saya tahu kalau kopinya berasal dari Rancabali, Bandung.

Yang menarik adalah proses pascapanen kopi tersebut. Di situ dijelaskan, sesuai pemahaman saya, kopi diproses secara fermentasi selama 24 jam dengan penambahan ragi koji. Katanya, proses tersebut merupakan eksperimen untuk menimbulkan rasa umami di kopi.

Malam itu Abu Sa’id Faishal menyeduh kopi koji pakai resep dr. Ray Leonard Judianto. Seorang dokter yang suka berbagi teknik seduh kopi di YouTube. Dari 24 gram kopi menghasilkan 400 ml air kopi dengan 3 kali pouring dalam tempo seduh 3 menit.

Resep aslinya sih 12 gram kopi untuk 200 ml air. Jadi, rasio kopi dan air sekitar 1:17. Berhubung banyak orang di Rabu malam itu, resep tersebut digandakan. Biar lebih praktis.

Sungguh, kopi yang punya rasa unik.

(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *