“Jadi ngopwah (ngopi ukhuwah) pagi ini?” tanya saya ke beberapa teman saya.
“Jadiin dong,” jawab Abu Faqih Ginanjar.
“Gasss,” sahut Abu Sa’id Faishal.
“Jadi hayu temanya kopi daging ha ha ha..,” timpal Abu Fauzan Taofik yang kali ini kebagian jadi tuan rumah Kopwah (kopi ukhuwah) Manglayang di Ahad (8/1) lalu.
Kopi daging? mungkin yang dimaksud adalah kopi yang berkualitas. Dugaan saya, Abu Fauzan Taofik lagi pakai gaya bicara anak Jaksel. Apalagi KopWah Manglayang pagi itu menunya kopi arabika Puntang proses anaerob produk Toobagus Kopi. Kopi yang mantap.

Namun ketika saya mendatangi rumah Abu Fauzan Taofik, akhirnya terjawab soal kopi daging. Ternyata Abu Fauzan Taofik salah ketik. ‘Temanya kopi daging” seharusnya ditulis ‘temannya kopi, daging’. Di meja terlihat beberapa bungkus daging iris tipis berikut kompor dan alat pemanggangnya.

KopWah Manglayang di Ahad pagi itu memang terbilang spesial. Banyak camilan dan makanan yang dihidangkan. Ada daging, steamboat, kimchi, bolen, getuk lindri, lemper, bala-bala, risoles, combro, pangsit, jeruk dan kelengkeng.
Saya sendiri dibuat takjub sekaligus girang dengan banyaknya hidangan yang tersaji di Ahad pagi itu. Girang karena dengan banyaknya jenis hidangan itu artinya banyak pihak yang ta’awun. Sudah lumrah, beberapa peserta KopWah Manglayang yang datang membawa makanan untuk dinikmati barengan.
Saya bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. Mereka yang ringan tangan jika diminta berpartisipasi untuk ukhuwah. Mereka melakukannya bukan mengharap balasan melainkan ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla.
Makanya, saya kadang dibuat geram dengan tudingan-tudingan ke KopWah. Dianggap sebagai majelis ghibah, perkumpulan makar, tempat berkumpulnya orang-orang bermasalah. Hanya berdasarkan qorinah, enggan bertabayun.
Kami pun tak mau ambil peduli. Anjing menggonggong, KopWah berlalu.
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
0 Komentar