Hat trick. Tiga hari berturut-turut makan siang di Tasikmalaya, menu yang saya makan sama: mie baso. Tidak membosankan justru bikin ketagihan.

Hari pertama, Kamis 8 Desember 2022, saya bersama gurunda dan ikhwah Madasta (Ma’had Darul Atsar Tasikmalaya) makan siang di Mie Baso Ade. Salah satu mie favorit saya jika berkunjung ke Tasikmalaya. Alamatnya di Food Market Gabucci, Jl. Cieunteung No.306.

Mie Baso Urat Halus seporsi 30K jadi menu langganan saya. Mienya lembut, baso uratnya enak, kuahnya harum dan segar banget. Saya senantiasa menaburkan pilus cikur ke kuah baso yang sebelumnya ditambahi saus bawang dan kecap manis. Raos pisan.

Hari kedua, Jumat 9 Desember 2022, saya diajak ke depot mie baso yang sebelumnya belum pernah dikunjungi. Yakni, Mie Baso Loma. Kami penasaran karena di situ pakai mie pipih seperti kwetiau.

Sayang, siang itu Mie Baso Loma ternyata tutup. Kami pun banting setir meluncur ke Jl. KHZ Mustofa No.35. Itu alamat Mie Baso Sari Rasa, salah satu mie baso legendaris di Tasikmalaya. Mie baso yang memulai usahanya sejak 1960 dan katanya yang memopulerkan saus bawang di kota tersebut.

Siang itu kami pesan Mie Baso Yamin yang dihargai 30K. Seporsi terdiri dari semangkok mie putih dan semangkok lain berisi 5 baso kecil beserta kuah. Empat baso halus dan 1 baso urat.

Mienya lunak, lembut tidak terlalu kenyal. Basonya berasa banget dagingnya. Kuah yang ditambahi sambal, saus bawang dan kecap manisnya, membuat isi mangkok saya tandas.

Keesokan hari, Sabtu 10 Desember 2022 makan siang kami bergeser ke tempat anyar lagi. Namanya Mie Baso Ewos yang beralamat di Jl. Dadaha No.11a.

Kami pesan Mie Baso Tangkar Kuah seharga 22K seporsinya. Saya order mienya dibikin yamin asin. Saya memang lagi gandrung mie yamin asin.

Mata langsung terbelalak ketika melihat bungkusan pangsit goreng di meja. Saya paling doyan merendam pangsit goreng di kuah baso yang pedas. Mengingatkan saya pada oskab Ngalam (=bakso Malang).

“Coba dulu kuahnya,” ujar gurunda ketika orderan saya terhidang.

Saya aduk kuahnya, saya sendok dan Bismillaah. MasyaAllah. Kuahnya kaldu banget, oily dan gurih bukan karena micin. Sambel, saus bawang dan kecap manis saya tambahkan. Kemudian pangsit goreng ditaburkan di atasnya. Sempurna.

Basonya pun demikian. Enak, daging banget. Begitu pula pangsit basah, baso tahunya dan tangkarnya.

“No tangkar, no baso,” kata Abu Ilyas Saiful, saudara seagama saya di Madasta yang duluan merapat ke Mie Baso Ewos sebelum kami. Maksudnya, bagi dia baso yang tidak ada tangkarnya itu bukan baso.

Saya sepakat untuk tidak sepakat dengan Abu Ilyas Saiful. Ada atau tidak ada tangkar di baso, baso tetaplah baso. Tapi saya sepakat untuk sepakat dengan Abu Ilyas Saiful; Mie Baso Ewos memang enak.

(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *