Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan segala sesuatu ada dua jalan, yakni jalan untuk masuk dan jalan untuk keluar. Tapi jalan untuk lisan secara khusus Allah jadikan harus melalui dua gigi bagian atas dan bawah serta dua bibir bagian atas dan bawah yang merupakan tempat huruf keluar darinya.

Artinya khusus untuk lisan diperketat, agar manusia lebih diharapkan bisa menahan atau mengekang omongannya untuk tidak lepas kendali kecuali yang itu berguna baginya.

Kalau saja manusia mau menyadari itu pada dirinya, itu sudah menjadi ayat tanda-tanda kebesaran Allah pada dirinya agar diharapkan banyak menahan lisannya

Allah sebutkan pada diri manusia banyak ayat-ayat tanda kekuasaan Allah kalau mau memperhatikannya, Allah Ta’ala berfirman:

وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Dan pada dirimu sendiri maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz Dzariyaat: 21)

Kata Ibnu Hibban rahimahullah; maka kewajiban orang yang berakal bersikap adil atau objektif untuk kedua telinganya dari mulutnya.

Hendaklah selalu sadari bahwa dijadikan untuknya dua telinga dan satu mulut dengan tujuannya agar lebih banyak mendengar dari pada banyak bicara, maka disitu keadilan pada telinga dan mulut.

Karena ada dua telinga maka telinga diberi porsi lebih artinya harus menjadi seorang pendengar dan belajar mengambil yang bermanfaat bagi dirinya. Maka untuk berbicara seperlunya dan pembicaraan lebih sedikit dari pada pendengaran.

Sehingga Orang yang banyak bicaranya ketimbang mendengarnya dia tidak adil pada dirinya sendiri.

Orang kalau bicara sering kemudian menyesal dibelakang; kenapa dia mengucapkan ini kenapa ia berkata begitu.

Kalau seandainya dia menahan diri tidak membicarakan itu tentunya dia tidak akan menyesal karena dia tidak bicara apa-apa.

Dan orang lebih mudah, lebih kuasa untuk membenahi apa yang belum dia ucapkan ketimbang membenahi apa yang sudah dia ucapkan.

Bagaimana mau mencabutnya kalau omongannya sudah tersebar dan membenahinya belum tentu mudah.

Apalagi kalau itu terkait hak orang, ada yang tersinggung, ada yang terzalimi, ada yang tersakiti. Dan kalau sudah seperti itu apa yang mau dicabut kalau omongannya sudah masuk telinga orang lain?

Bagaimana kalau orang yang terdzalimi tidak mau mema’afkannya dan itu haqnya dia yang telah terdzalimi. Terdzalimi bisa dengan kedustaan kamu berbicara, kadang dengan fitnah dengan menfitnah begini dan begitu, dan ada dengan kesimpulan-kesimpulan sendiri yang itu tidak benar. Maka bagaimana kamu akan membenahinya kalau sudah seperti itu?

Berarti kalau menyadari akan hal ini maka lebih baik memilih untuk diam, tidak tergesa-gesa berbicara, jangan reaksioner jangan banyak omong karena nanti akan sulit membenahinya.

Karena membenahi apa yang belum diucapkan jauh lebih mudah membenahinya. Kalau sudah terucap keluar dari mulutnya maka dirinya ada dalam cengkraman omongannya sendiri.

Seandainya diam maka tidak akan memudharatkannya, karena omongannya belum disampaikan, maka diamnya bermanfaat baginya.


Faedah yang didapatkan dari kajian Raudhatul Uqala Wa Nuzhatul Fudhala bersama Gurunda Ustadz Usamah Mahri hafizhohulloh.

Ditulis oleh AA. mantan penulis Majalah Konsultasi Kita.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *