Sebagaimana pembaca manglayang.com ketahui, saya dan beberapa teman dikenal sebagai penggemar fanatik Mie Baso Herman. Sebuah warung mie baso yang berlokasi dekat dengan Ma’had Darul Atsar Tasikmalaya (Madasta), ponpes asuhan gurunda kami. Sampai-sampai kami dikenal sebagai penggemar Herman Garis Keras. Setiap kali berkunjung ke Madasta, wajib hukumnya mampir ke Herman. Hahaha…

Sudah beberapa kali gurunda kami mengajak ke baso lain. Mulai Mie Baso Gejrot, Jurjol Cepot hingga Ahmad. Toh, saya dan teman-teman masih bergeming dengan Herman. Sampai-sampai gurunda pun jengkel dibuatnya.

Hingga beberapa hari lalu gurunda japri saya. Kirim foto semangkuk baso di sebuah warung yang belum saya kenal. Isi pesan gurunda pun singkat: “syubhat herman…insyaallah selesai disini”.

Maksud gurunda, baso yang dia pamerkan ke saya itu akan menyudahi kecanduan saya ke baso Herman. Saya pun penasaran. Beberapa nama baso kondang di Tasik yang saya sebut ternyata salah. Yang bikin siyi mikin pinisirin, gurunda enggak mau kasih tahu baso apa itu.

Beliau maunya saya coba langsung baso tersebut ketika saya berkunjung ke Madasta. Apalagi gurunda tahu Kamis 27 Oktober 2022 saya berkunjung ke Madasta untuk ikutan taklim dan ngopi bareng (Secangkir Kopi Kita). Kami pun sepakat janjian sebelum ke Madasta, saya diajak ke baso tersebut.

Waktu yang kami sepakati pun tiba. Kamis sore (27/10) kami bertiga -saya, gurunda dan Abu Uma Bambang- meluncur ke Jl.Cieunteung No.306. Tepatnya di Food Market Gabucci. Di situ ternyata ada Mie Baso Ade. Baso yang gurunda pamerkan ke saya via WA.

Melihat lokasi Mie Baso Ade saya langsung berkomentat singkat ke gurunda, “Wah, Herman kena mental nih..”

Tempatnya cozy. Nyaman dan menyenangkan. Beberapa meja dan kursi tertata rapi, tidak terkesan rapat. Masih berjarak satu sama lain.

“Toppingnya mau apa,” ujar gurunda mengagetkan saya. Baso ada toppingnya? Sesuatu yang baru yang tidak saya dapatkan di Herman.

Ada 3 pilihan topping yang ditawarkan di Mie Baso Ade. Ada tahu, babat dan ceker. Saya pun pilih ceker.

Tak beberapa lama kemudian 3 mangkuk mie baso yang persis seperti foto kiriman gurunda ke saya tersaji di meja kami.

Aromanya langsung terendus hidung saya. Kuahnya jernih, mienya tak terlalu kuning justru condong putih dengan taburan daun bawang dan bawang goreng. Yang menarik selain pakcoy ada suwiran kecil daging ayam. Sesuatu yang tak saya jumpai di Herman atau baso lain yang pernah saya kunjungi.

Pun begitu saus bawangnya. Beda dengan yang ada di mie baso lain. Yang lainya cenderung berwarna hijau gelap dengan bau bawang yang menyengat, di sini lebih ke warna kemerahan dengan aroma yang tidak menyengat. Lebih soft dan lebih pedas.

Saya seruput kuahnya. MasyaAllah, segar. Begitu saya tambahkan saus bawang dan kecap, rasanya makin dahsyat.

Saya sebenarnya kurang begitu suka mie di baso. Namun begitu menggigit mie di Mie Baso Ade, saya menemukan rasa enaknya mie. Lembut.

Tekstur yang lembut saya temukan juga ketika menggingit baso halus kecilnya. Dagingnya berasa banget. Begitu pula baso urat halusnya. Gampang digigit dan dikunyah tanpa perlawanan. Baso urat di Herman yang selama ini saya nomorsatukan kini tergeser oleh si Ade.

Yang ‘ngeselin’, di meja tersedia pilus cikur. Beberapa tahun lalu sempat viral kacang sukro ditaburkan ke kuah baso. Rasanya memang enak. Nah, pilus cikur di sini lebih enak ketimbang kacang sukro. Aroma dan rasa cikurnya berasa banget. Begitu terendam di kuah, hade goreng ku baso. Selesai urusan.

“Herman skak mat, ya?” komentar istri ketika saya ceritakan Mie Baso Ade. Selama ini dia tahu suaminya memang penggemar berat Mie Baso Herman.

“Iya,” jawab saya.

(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *