Kamis tanggal 25 Agustus 2022, saya dan Abu Faqih Ginanjar mendadak harus berangkat ke Tasikmalaya. Siang itu pukul 14.30 kami pun berangkat naik bus Primajasa dari Cileunyi.

Itu dikarenakan acara undangan kulineran saudara-saudara seagama saya dari Talaga (Majalengka) dimajukan sehari. Rencana awal sih di hari Sabtu (26l7/8) kemudian digeser ke hari Jumat.

Meski jadwal diubah, destinasi wisata kulineran tetap seperti rencana. Yakni, sesuai undangan kami diajak makan siang di warung bernama Warung Salam. Sebuah warung sederhana nan asri yang berada di kaki gunung Cakrabuana. Warung di tepi jalan Raya Cakrabuana di Desa Cimungkal, Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Jalan perbatasan yang menghubungkan Sumedang dan Majalengka.

Warung Salam merupakan warung lesehan yang berupa bangunan kayu di area perkebunan teh dengan ketinggian 1.096 mdpl. Sederhana tanpa hiasan dinding yang menurut saya malah akan mengganggu pemandangan jika dipasangi hiasan. Kami, bersama saudara-saudara seagama dari Ma’had Darul Atsar Tasikmalaya (Madasta) dan Talaga berjumlah 11 orang, memilih gubuk kayu di bawah. Sejauh mata memandang ke bawah, terpampang hijau perkebunan teh dan biru pegunungan. MasyaAllah…

Ketika kami menuju ke sana, saya nyaris menyangka salah jalan. Saya melewati dapur dengan beberapa tungku yang masih menggunakan kayu bakar. Beberapa orang terlihat sedang mengupas jengkol. Saya kira saya kesasar masuk dapur rumah orang.

Ternyata itulah dapur Warung Salam. Salah satu hal yang membuat saudara-saudara seagama saya dari Talaga mengajak kami ke Warung Salam. Konon, aroma dan rasa makanan yang dimasak di atas tungku kayu bakar itu beda dengan masakan dengan kompor gas.

Kami pun memesan mujahir bakar, ayam goreng, telor dadar, sayur kangkung, ikan asin peda dan tentu saja, jengkol goreng. Nasi yang disajikan di Warung Salam ternyata nasi timbel. Nasi khas Sunda yang dimasak dengan dibungkus daun pisang. Warung Salam memang rumah makan yang menyajikan menu masakan Sunda.

Saya buka nasi timbel, ambil ikan asin peda, jengkol goreng dan sambal mentahnya. Bismillaah. Suapan pertama, sejumput nasi berikut jengkol goreng dan sambal, MasyaAllah. Nikmat sekali. Sebagai penggemar jengkol dan sambal, masakan Warung Salam untuk dua item itu layak diacungi 2 jempol.

“Kangkungnya juga enak nih. Beda banget dengan kangkung yang biasa saya temui,” ujar Pak Athok, saudara seagama saya dari Madasta.

Saya pun penasaran. Saya pindahkan 2 sendok sayur kangkung ke piring saya. Saya cicipi. Kangkungnya lembut dan bumbunya berasa banget. Saya sepakat dengan Pak Athok yang ternyata disepakati juga oleh yang lain. Semua pun sepakat, bahwa masakan di Warung Salam memang nikmat.

Bahkan menurut ustadz kami, makan di Warung Salam dengan menu nasi timbel, ikan asin peda dan jengkol goreng berikut sambal mentah sudah nikmat. Lagi-lagi kami semua juga sepakat.

Selesai makan, saya seduh kopi arabika Pandansari Bumiayu produk Toobagus Kopi sebagai penutup. Sempurna. Alhamdulillah..

Jazaakumullahu khoiron saudara-saudara seagamaku di Talaga. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberi balasan kebaikan kepada kalian.

(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *