Setiap kali ke Tasikmalaya, saya dan teman-teman selalu menyempatkan diri untuk makan baso. Sebagai Kota Sejuta Baso, banyak pilihan baso enak di sana.
Dan, setiap kali bahas baso mana yang akan kita kunjungi selalu jadi perdebatan seru antara kami dengan saudara-saudara kami di Madasta (Ma’had Darul Atsar Tasikmalaya). Terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara kami. Masing-masing memberikan hujjah (argumentasi) yang kuat.
Saya dan teman-teman dikenal penggemar Mie Baso Herman yang lokasinya tak jauh dari Madasta. Sedangkan saudara-saudara kami di Madasta dikenal suka mencoba warung baso yang belum dikunjungi.
Seperti kunjungan kami ke Madasta pertengahan Agustus 2022. Saudara-saudara di Madasta mengajak kami ke Mie Baso Ahmad yang terletak di pinggir Jl. KHZ Mustofa. Itu mereka lakukan agar kami tidak ta’ashub (fanatik) dengan Mie Baso Herman, begitu kata mereka.
Pagi itu jam 10 kami berempat berangkat dari ma’had menuju Mie Baso Ahmad. Jika berangkat lebih siangan bakal tidak dapat tempat saking ramainya pengunjung. Pak Athok, saudara kami di Madasta yang membawa kami siang itu pernah ke sana dan akhirnya memutuskan pulang kembali ke rumah karena saking lamanya mengantre.
Alhamdulillah, kami masih mendapatkan meja di luar warung karena di dalam sudah penuh. Siang itu sudah banyak pengunjung, baik yang makan di sana atau dibungkus dibawa pulang.
Tak berselang lama waktu, mangkok berisi mie baso sudah terhidang di meja kami. Dua baso besar, baso urat dan baso halus, plus tahu isi baso dan mie.
Saya coba kuahnya, saya belum menemukan sesuatu yang istimewa. Tidak masalah. Karena di setiap warung baso di Tasikmalaya selalu tersedia saus bawang putih. Ini saus yang belum pernah saya jumpai di warung baso di kota lain. Saus tersebut saya tambahkan ke kuah berikut sambel, cuka dan kecap. Rasa kuahnya jadi sempurna!
Kemudian saya coba baso uratnya. Istimewa. Enak banget. Gurih tapi tidak alot sama sekali. Gampang digigit. Pun begitu baso halusnya. Lembut banget namun dagingnya berasa sekali.
Bisa dimaklumi jika selama kami menikmati baso di sana, si penjual tidak pernah berhenti melayani pembeli. Kami pun menyudahi dan pulang.
“Itu kalau kuahnya pakai kuah Mie Baso Herman berikut tetelannya, selesai…,” ujar Abu Faqih Ginanjar kepada saya dalam perjalanan pulang di atas bus Primajasa. “Selesai” yang dia maksud adalah istimewa atau tambah makin nikmat.
Saya diam tak mengomentari ucapan teman saya itu. Namun dalam hati saya berteriak, “Setuju!”
Saya bisa bayangkan bagaimana reaksi saudara-saudara kami di Madasta setelah membaca tulisan ini. Ikhtilaf di antara kami bakalan semakin melebar.
Hahaha..
Tapi harap dimaklumi ya jika ikhtilaf di antara kami soal baso itu dalam bingkai canda. Tawa dan canda memang membuat kami selalu merindukan mereka.
Khalil bin Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia dalam penjara (terkekang) apabila tidak saling bercanda.” Pada suatu hari, al-Imam asy-Sya’bi rahimahullah bercanda, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu ‘Amr (kuniah al-Imam asy-Sya’bi, -red.), apakah kamu bercanda?” Beliau menjawab, “Seandainya tidak seperti ini, kita akan mati karena bersedih.” (al-Adab asy-Syar’iyah, 2/214) (dinukil dari asysyariah.com dari artikel berjudul Bercanda Ada Etikanya)
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
0 Komentar