Rabu malam, 13 Juli 2022, pukul 20:39. Hujan baru saja reda ketika sebuah mobil menghampiri kami (saya dan anak sulung saya). Bergegas kami memasuki taksi online tersebut, pilihan terbaik menuju ke Pondok Pesantren Al-Faruq Kalibagor. Murah dan nyaman.
Saya sengaja memilih turun di Stasiun Kroya saat itu, walaupun kereta Serayu yang kami tumpangi bertujuan akhir di Stasiun Purwokerto. Karena beberapa hari sebelumnya kami sempat survei untuk mempelajari kondisi di Stasiun Purwokerto. Hal ini sengaja saya lakukan untuk mengajarkan kepada anak sulung saya bila sewaktu-waktu dia harus safar sendirian dari dan ke pondoknya.

Sebagai seorang ayah, saya tak mungkin terus menerus menemaninya. Terlebih dia seorang anak lelaki, yang mungkin pada waktunya akan menjelajahi dunia demi menimba ilmu.
Di mobil yang kami tumpangi, sang  driver orangnya ramah. Kami mengawali obrolan dengan ngalor-ngidul hingga kemudian dia bertanya kepada anak sulung saya, “Betah mas di pondok?”. “Alhamdulillah betah, pak,” jawab anak saya.
Kemudian sang bapak bercerita, “Alhamdulillah ya pak, anaknya mau dan betah di pondok. Anak saya cuma bertahan 2 minggu di pondok, setelah itu dia kabur dari pondok kembali ke rumah. Sampai rumah pun, ibu dan neneknya mendukung keputusannya untuk tidak melanjutkan sekolah di pondok. Mereka membiarkan anak memilih sekolah sendiri kalau sudah tidak betah.”

Pembicaraan berikutnya mengalir seputar alasan mengapa bapak tersebut sangat ingin anaknya bersekolah di pondok. Kami membicarakan mengenai pergaulan remaja di masa sekarang, juga berdiskusi mengenai bahayanya anak yang sudah terpapar gadget.
Dan perjalanan malam kami sejauh 21 km sampai juga. Saya dan bapak driver itupun berpisah, sambil saling mendoakan kebaikan.

Malam itu, saat akan meninggalkan anak sulung saya di pondok, saya peluk dan kemudian berkata kepadanya, “Terima kasih kak, kakak sudah memilih pondok dan berusaha untuk betah dan bertahan melewati rasa rindu demi rindu yang sering menghampiri. Sabar ya, kak, ujian dalam menempuh jalan menuntut ilmu memang tidak mudah.”
Malam itu, ketika jam menunjukkan pukul 22.30, saya kembali ke Stasiun Kroya untuk  pulang ke Bandung. Tak henti saya bersyukur atas segenap nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Alhamdulillah.
Terima kasih, kak…

(Sekadar catatan perjalanan yang ditulis oleh DarMa KeSuma. Seorang ayah yang sedang menanggung rindu kepada anak sulungnya yang sedang menimba ilmu.)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *