“Pak Roni ngopi-ngopinya besok pagi di pantai aja ya. Tapi sebelumnya ikut taklim (pengajian, Red.) saya dulu di masjid dekat sini. Nanti pulang dari pantai, kita cari sarapan,” ujar ustadz kami yang bermukim di Kulon Progo, Yogyakarta, yang sempat kami kunjungi di pekan keempat bulan Mei 2022.
Pagi itu setelah mengikuti taklim, kami pun meluncur ke salah pantai yang ada di Kulon Progo. Yakni, Tanjung Adikarta di pantai Karangwuni. Masya Allah, pantainya indah dengan deburan keras ombak besar khas perairan laut selatan.
Qodarullah wa maa sya fa’ala, acara ngopi-ngopi urung dilakukan. Kebetulan salah satu teman kami, Pak Agus, ada meeting via zoom jam 9 pagi. Padahal di tas ransel peralatan kopi saya ada arabika Pandansari dan arabika Manglayang produk Toobagus Kopi.

“Yuk, kita cari sarapan,” ajak ustadz kami yang mengarahkan pengemudi menuju warung makan yang ternyata letaknya dekat dengan rumah beliau. Namanya Rumah Makan Rowo. Berlokasi di pinggir Jl. Brosot Wates Km. 2, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kulon Progo.
“Ini warung makan masakan asli Jawa. Dari dulu tempatnya ya begini, nggak mau diubah,” kata ustadz kami yang ternyata beliau pelanggan di sana.
Warung makan terlihat sederhana dan bersih. Tak ada pelayan yang menawarkan menu, namun pengunjung diarahkan langsung untuk mengambil makanan. Ya, modelnya prasmanan.
Mata saya langsung terbelalak melihat beragam menu masakan yang disediakan. Ada beragam pilihan pepes, gudeg, brongkos, sayur tempe, sayur bening, tumis kangkung, telor balado, ayam kremes, buntil, oseng terong, buntil, pindang, ampela ati dan masih banyak pilihan masakan rumahan lain.
Saya pun bergegas mengambil sedikit nasi yang kemudian saya timbuni dengan terik tempe, oseng terong, buntil, semur ampela ati dan dua tusuk sate ayam. Tak lupa sesendok sambal dan kerupuk. Pak Agus terlihat mengambil beragam banyak pilihan sayuran. Dia sepertinya hendak bernostalgia karena dulu kuliah di Yogyakarta.
“Diingat-ingat ya apa lauknya (yang diambil, Red.),” ujar ustadz kami mengingatkan.
MasyaAllah, lauk pauk yang saya pilih juara dunia semua. Maksud saya, enak banget. Buntilnya lembut dan bumbunya terasa banget. Begitu pula ampela atinya. Sambelnya pun layak diacungi dua jempol.

Selesai sarapan, mata saya kembali terbelalak ketika mendengar jumlah tagihan yang harus dibayar. Dari 8 orang yang makan dan minum pagi itu dikenai harga Rp 142.000. Alhamdulillah, murah sekali. “Di sini kan nasi dihitung sepaket dengan sayuran. Jadi habis makan yang ditanyain lauknya apa,” jelas Pak Agus.
Oalah…
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
0 Komentar