“Dari mengumpulkan potongan-potongan besi yang berantakan sisa pembangunan gedung, seorang siswa disini bisa mendapatkan uang Rp 500.000,” demikian beliau menjelaskan pertanyaan kami mengenai keberadaan tumpukan barang rongsok di sebuah sudut kompleks bangunan.
Barang-barang bekas seringkali dianggap sampah oleh banyak orang. Keberadaannya sering disebut kumuh, sehingga sebisa mungkin segera disingkirkan. Atau, setidaknya disembunyikan. Namun dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda, barang-barang bekas yang dianggap sampah ini justru seringkali bisa menjadi jalan untuk menafkahi keluarga bagi para pengolahnya.
Ya, sudut pandang dan cara memandang yang berbeda ini pula menjadi pelajaran berharga yang kami dapatkan dari beliau. Dalam satu kesempatan majelis ilmu disana, beliau mengajak kami untuk lebih bersyukur terhadap kehidupan kami. Dengan banyak melihat kondisi orang-orang di sekitar kita, akan kita dapati banyak kemudahan dan kebaikan yang sesungguhnya sudah ada dalam genggaman kita. Hanya saja seringkali luput untuk kita syukuri.
Begitu juga dengan jalan ikhtiar beliau dalam mengelola “lembaga pendidikan” yang beliau dirikan. Ketika banyak lembaga pendidikan formal mensyaratkan adanya rekomendasi atau surat keterangan baik dari sekolah sebelumnya, di tempat ini justru berlaku sebaliknya. Surat Keterangan Tidak Baiklah yang menjadi semacam pengantar untuk bisa masuk disini. Ketika banyak lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk memoles, bahasa marketing mereka dengan menyebutkan banyak prestasi, ketika banyak tempat pendidikan berlomba-lomba mementingkan bangunan fisik untuk menarik sebanyak mungkin siswa. Logika itu justru diputarbalikkan disini.
“20% siswa disini adalah korban perceraian,” kata Beliau. Pengenalan secara mendalam dan tulus terhadap setiap individu siswa, menurut kami adalah kunci beliau menangani masing-masing dari mereka. Dengan semua hal yang kami lihat, kami dengar dan kami rasakan langsung, sesungguhnya beliau mengajari kami mengenai mindset dan pola pikir yang selama bertahun-tahun mungkin menjadi pengekang bagi kami untuk mendobrak batasan- batasan sosial yang sebenarnya membuat sudut pandang dan cara berpikir kami menjadi sempit.

Sudut pandang yang sempit ini mungkin yang kemudian membuat kami selama ini menjadi kurang bersyukur, sering berandai-andai ingin menjadi seperti orang lain, mudah menyalahkan orang lain atau pun menyalahkan keadaan, dan beragam akibat lainnya. Wallahu a’lam. Ternyata, sesuatu yang dinilai dan tidak terpakai oleh orang lain, bisa menjadi permata di tangan yang tepat, dengan seizin Allah.
_Bersambung insya Allah ke seri terakhir_
(Serakan hikmah perjalanan yang coba dirangkum oleh Darma Kesuma. Bukan siapa-siapa, hanya remehan rengginang yang terkena tumpahan air kopi)
0 Komentar