Kabut tebal dan teh hangat. Dua hal yang membedakan pagi ini dengan pagi di hari-hari sebelumnya. Pagi di ma’had kami, Ma’had Al Hijrah Bandung, di awal Dzulqo’dah 1443H (1 Juni 2022).
Tebalnya kabut mulai terlihat ketika sholat shubuh selesai ditegakkan. Dari teras masjid, kabut tampak menyelimuti halaman dan rumah-rumah bambu tempat santri tinggal. Kabut mulai menipis ketika dars pagi, setiap hari seusai shubuhan kecuali Jumat, selesai dilaksanakan.
Di ma’had kami, selepas dars pagi apalagi hari libur, biasanya dilanjut ngopi-ngopi di saung depan masjid. Setelah sebelumnya kami lakukan sholat sunnah 2 rakaat (sholat syuruq). Itu biasa kami kerjakan karena ada hadits yang menyebutkan, “Barangsiapa yang subuh berjamaah lalu dia tetap duduk berdzikir mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu dia mengerjakan shalat dua rakaat maka dia mendapat seperti pahala haji dan umrah.” (HR. At-Tirmidzy)
“Ngopi-ngopi,” begitu ajakan yang biasa terdengar sehabis dars pagi di ma’had kami. Namun pagi ini berbeda. Yang terdengar justru ajakan: “Ngeteh, yuk..”
Ternyata, salah seorang teman kami yang bernama Abu Lubna membawa seperangkat alat minum teh berikut beragam teh. “Mau teh apa?” kata Abu Lubna.
Beberapa saat kemudian tangan Abu Lubna pun terlihat sibuk meracik teh. Teh bunga mawar dicampur daun peppermint kemudian diguyur air panas. MasyaAllah, aroma bunga mawar dibalut tipis pedas daun mint berasa sekali di mulut.
Sembari menikmati teh dan gorengan, Abu Lubna terlihat kembali meracik teh. Kali ini teh bunga chamomile yg bisa untuk menjaga kesehatan dan melancarkan pencernaan, biidznillah.
Sungguh, pagi yang beda namun menyenangkan di ma’had kami…
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang yang tengah mencoba berdamai dengan masalah)
0 Komentar