
Selain menyukai kopi, saya juga mengoleksi kopi. Khususnya kopi dengan kemasan kertas coklat yang dulu biasa dipakai untuk sampul buku. Saya juga pernah menulis kopi koleksi saya itu di sini berjudul Kopi Cap Jalan Layang.
Kopi-kopi koleksi tersebut saya taruh di dua rak kayu dinding. Jumlahnya 30 bungkus yang kebanyakan dari pulau Jawa dan Sumatera.
Pernah suatu ketika rak kopi tersebut saya foto dan dipasang di status WA. Beberapa komentar muncul, salah satunya bertanya, “Itu tidak diminum?” Seketika itu juga saya jawab, “Tidak.”
Nah, di suatu pagi ceritanya stok kopi di rumah sudah habis. Padahal ritual pagi saya dan isteri adalah minum kopi. Sementara kopi yang saya order belum juga datang.
Akhirnya saya putuskan untuk mengambil satu bungkus kopi dari rak kopi tadi. Kebetulan kopi yang saya ambil ada 2 biji, jadi satunya masih jadi koleksi. Kopi yang saya seduh cap Bintang dari Pandeglang, Banten.

Rasanya? “Pahiiit…,” kata istri saya. Saya pun sepakat. Pahit kopi robusta yang biasa disangrai hitam dengan sedikit aroma sesuatu yang terbakar. Namun saya masih bisa menikmatinya. Apalagi menyeruput kopi tersebut saya seperti dilempar ke suasana kampung yang jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan….
(MN Tabroni, mantan editor di Gramedia Majalah, kakek 2 cucu, penikmat kopi yang tinggal di kaki Gunung Manglayang)
0 Komentar