Tren penurunan angka kesuburan Indonesia diprediksi akan terus berlanjut. Pada 2035, Indonesia akan didominasi penduduk berusia tua.
Puspa, 28 tahun, benar-benar kewalahan. Sejak melahirkan anak pertamanya sembilan bulan lalu, dia sama sekali tidak punya waktu untuk diri sendiri. Hari-harinya habis untuk merawat anak. Ditambah lagi dia juga harus merawat ibunya yang sudah lanjut usia.
“Belum lagi harus ngelayanin suami, kan. Capeknya pakai banget,” tutur mantan karyawan perusahaan ekspedisi ini kepada detikX pekan lalu.
Tahun lalu, saat usia kandungan anaknya baru dua bulan, Puspa terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaan. Dokter bilang janin yang dikandung Puspa dalam keadaan lemah. Ada flek saat kehamilan yang membuatnya harus istirahat total. Jika tidak, jabang bayinya bisa tidak selamat.
Sejak saat itu, suami Puspa, yang hanya bekerja sebagai kurir, harus membiayai ongkos hidup keluarganya seorang diri. Gaji suami Puspa tidak seberapa. Di bawah upah minimum provinsi (UMP) Jakarta. Tidak sampai Rp 5 juta per bulan.
“Gaji segitu buat hidup empat orang (Puspa, suaminya, anaknya, dan ibunya) di Jakarta mana cukup, kan? Apalagi kebutuhan makin bengkak setelah punya anak,” jelas Puspa.
Kondisi ini membuat Puspa dan suami berpikir ulang untuk punya anak lagi. “Awalnya mau punya anak dua. Tapi sekarang pikir-pikir dulu deh karena gue juga mikir, gimana nanti untuk biaya pendidikan anak kalau kondisi ekonominya masih kayak gini,” katanya.
Kekhawatiran punya anak lagi tidak hanya dirasakan Puspa. Lima pasangan suami-istri baru yang detikX wawancarai juga punya kekhawatiran serupa. Ada dua alasan utama mengapa mereka enggan menambah anak lagi atau ingin menambah tapi tidak dalam waktu dekat.
Pertama, persoalan ekonomi dan kekhawatiran tidak sanggup membiayai pendidikan anak. Lalu kekhawatiran tidak mampu memberikan waktu dan kasih sayang yang utuh kepada anak-anaknya lantaran kedua orang tuanya sama-sama bekerja.
Muhammad Iqbal Nur dan istrinya Adel—pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai dokter—salah satu yang punya kekhawatiran untuk menambah anak lagi lantaran waktu mereka bersama anak amat sedikit. Keduanya khawatir, kalau menambah anak lagi, malah waktu untuk anaknya yang sekarang semakin sedikit.
“Bukan mau nggak mau punya anak lagi sebenarnya. Cuma, kalau sekarang, waktunya nggak ada buat membagi waktu untuk anak kedua,” terang Iqbal.
Keengganan orang tua memiliki anak banyak atau kecenderungan menunda punya buah hati sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Ini sudah menjadi fenomena dunia dalam seabad terakhir.
Di negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan Amerika Serikat, keengganan memiliki anak ini bahkan sudah masuk tahap ekstrem. Itu terbukti dari total fertility rates (TFR) alias angka kesuburan negara-negara ini, yang kini berada di bawah angka 2,1. Angka sakral supaya dapat menggantikan orang tuanya pada masa depan. Kalau TFR di bawah itu, populasi sebuah negara akan menyusut.
Di Indonesia, kondisinya belum seekstrem itu. TFR Indonesia masih berada di angka ideal, yakni 2,14. Namun angkanya diprediksi akan terus turun menjadi 1,9 pada 2035.
Saat ini, sudah ada beberapa daerah dengan TFR di bawah yang mencapai angka ekstrem tersebut. Di antaranya, Jakarta dengan 1,75, Daerah Istimewa Yogyakarta (1,89), dan Jawa Timur (1,98).
Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Bagong Suyanto mengatakan turunnya TFR di Indonesia disebabkan berkurangnya angka pernikahan dalam beberapa tahun terakhir. Selama 2018-2023, angka pernikahan Indonesia telah turun 21,77 persen dari 2,02 juta menjadi hanya 1,58 juta.
Penurunan angka pernikahan ini diikuti dengan meningkatnya median usia menikah perempuan. Saat ini, rata-rata perempuan baru menikah pada usia 22 tahun. Dulu median usia perempuan menikah masih di bawah 18 tahun.
Faktornya, kata Bagong, kesadaran perempuan atas masa depannya dan semakin terbukanya peluang karier profesional bagi perempuan masa kini. Di samping itu, tingginya tingkat pendidikan perempuan juga menjadi faktor penting menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya median rata-rata usia pernikahan.
“Otomatis kan ini TFR juga ikut menurun, tapi ini bukan berarti negatif. Justru positif. Artinya, kualitas perempuan Indonesia semakin baik. Dan perempuan yang berkualitas juga akan menghasilkan anak-anak yang berkualitas,” ungkap Bagong.
Dosen London School of Public Relation Institute of Communication & Business, Nala Edwin Widjaja, berpendapat senada. Salah satu faktor menurunnya TFR di Indonesia adalah rata-rata usia pernikahan dan semakin tingginya pendidikan perempuan.
Nala menambahkan, selain dua faktor itu, ada alasan lain mengapa angka TFR dan pernikahan menurun. Di kota besar, seperti Jakarta, kata Nala, ada faktor lain yang menyebabkan orang muda menunda pernikahan dan memiliki anak. Dua faktor utamanya adalah kemajuan teknologi dan ketidakpastian ekonomi.
Menurut Nala, kemajuan teknologi membuat peluang kerja di kota besar semakin sempit. Dampaknya, banyak orang yang berpikir untuk buru-buru menikah lantaran khawatir pekerjaan mereka bakal diberangus teknologi.
Selain itu, orang juga cenderung menunda pernikahan lantaran merasa belum punya kepastian secara ekonomi. Banyak kalangan muda, kata Nala, yang menunggu mencapai posisi mapan sebelum akhirnya memutuskan menikah.
Ini akhirnya menyebabkan angka pernikahan di Indonesia, khususnya kota-kota besar, terus menurun. Dampak terusannya tentu saja angka TFR yang juga ikut turun.
Secara jangka pendek, lanjut Nala, turunnya TFR ini memiliki dua dampak. Positif dan negatif. Positifnya, semakin sedikit jumlah anak, kualitas pendidikan bisa semakin baik. Biaya pendidikan yang dulu harus dibagi untuk banyak anak kini bisa difokuskan untuk beberapa anak saja. Jumlah yang diterima anak juga bisa semakin besar. Plus, pemerintah juga bisa memfokuskan biaya pendidikan, yang dulu untuk membantu banyak anak, untuk membangun sekolah atau institusi pendidikan yang lebih baik.
Negatifnya, pertumbuhan ekonomi secara jangka pendek bisa tersendat. “Misalnya, kalau saya tinggal sendiri kan mungkin nggak perlu rumah. Cukup kos, tapi kalau sudah berkeluarga dan punya anak, kan mau nggak mau butuh rumah dan segala perabotannya. Terus juga kan harus keluar uang untuk pendidikan anak,” beber Nala.
Di sisi lain, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengklaim penurunan TFR Indonesia sebagai keberhasilan dari program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah sejak 1971. Waktu itu, TFR Indonesia masih berada di angka 5,61. Satu keluarga bisa punya rata-rata 5-6 anak. Sekarang satu keluarga hanya punya 2-3 anak.
Meski demikian, Hasto mengakui, turunnya TFR ke angka ideal ini juga diikuti sejumlah faktor risiko secara jangka panjang. Salah satunya, populasi Indonesia yang semakin tua.
“Nanti tahun 2035 itu kan yang generasi baby boom sudah akan memasuki aging population (populasi yang menua). Jadi jumlah usia produktifnya lebih sedikit dibandingkan yang nonproduktif. Kalau sekarang kan kita ada bonus demografi, jumlah anak mudanya lebih banyak dibandingkan yang tua,” terang Hasto ketika dihubungi detikX pada Rabu, 3 Juli 2024.
Populasi Indonesia yang kian uzur ini, kata Hasto, merupakan sebuah keniscayaan. Kelak, akan lebih banyak lagi sandwich generation di Indonesia, yang tidak hanya menanggung beban hidup dirinya sendiri, tapi juga anak dan orang tuanya.
Jika tidak dipersiapkan dari sekarang, Indonesia juga akan dibebani dengan biaya kesehatan yang membengkak lantaran para orang tua ini sudah tidak lagi produktif dan lebih sering sakit-sakitan. Sementara itu, anak-anak muda, yang jumlahnya kian sedikit, akan dibebani biaya tambahan untuk ongkos kesehatan para orang tua ini.
“Makanya sekarang harus mempersiapkan kualitas anak mudanya harus bagus. Kalau anak mudanya EQ-nya rendah, skill-nya rendah, terus sepuluh tahun ke depan ini gimana? Kita harus punya exit strategy, dong,” pungkas Hasto.