Jakarta – Indonesia telah menghasilkan ribuan penelitian mengenai potensi tanaman herbal sebagai obat alami. Namun, hanya sedikit yang berhasil lolos menjadi obat. Apa alasannya?
Dalam tiga tahun terakhir, tercatat ada sekitar 8.000 penelitian praklinis tanaman herbal Indonesia yang telah terbit. Meski ada beragam riset herbal, hanya sedikit dari penelitian ini yang berhasil berkembang menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT).
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, obat tradisional kini dikategorikan sebagai obat bahan alam. Obat tersebut disejajarkan dengan obat konvensional dan suplemen kesehatan, dengan empat kelompok utama, yaitu jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka, dan kategori baru yaitu obat bahan alam lainnya.
Meskipun ribuan penelitian telah dilakukan, perkembangan obat herbal terstandar di Indonesia masih stagnan. Apa yang menyebabkan ribuan penelitian ini gagal?
Mengapa Banyak Penelitian Herbal ‘Macet’ Jadi Obat?
Peneliti kimia Obat Tradisional di Universitas Diponegoro (Undip), Prof Bambang Cahyono, memaparkan jika terdapat empat alasan mengapa banyak penelitian herbal gagal ke pasaran, yaitu:
1. Bahan Baku yang Tidak Terstandarisasi
Menurut Bambang, banyak peneliti hanya berfokus pada uji praklinis tanpa mempertimbangkan ketersediaan bahan baku yang stabil dan terstandarisasi. Faktanya, untuk dapat teregistrasi sebagai OHT, bahan baku harus memiliki asal usul yang jelas dan konsisten.
Ketiadaan sumber bahan baku yang terstandarisasi ini sering menjadi penghalang utama ketika produk herbal ingin diproduksi dalam skala besar.
2. Proses Produksi yang Rumit dan Biaya Tinggi
Pembuatan obat herbal yang sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) bukanlah hal yang mudah. Proses ini membutuhkan fasilitas produksi yang memadai, biaya besar, serta pemahaman mendalam tentang regulasi.
Tidak semua peneliti memiliki akses atau kemampuan untuk memenuhi persyaratan ini sehingga banyak riset herbal yang ‘macet’ di jalan.
5. Minimnya Sinergi antara Akademisi, Industri, dan Regulator
Minimnya sinergi antara akademisi, industri, dan regulator menjadi salah satu kendala utama. Banyak penelitian herbal hanya berfokus pada aspek ilmiah tanpa memperhatikan standar industri dan regulasi yang berlaku. Akibatnya, meskipun penelitian sudah matang di atas kertas, tetap sulit untuk diterapkan dalam skala industri.
Untuk mengatasi masalah ini, Bambang mendorong kolaborasi yang lebih erat antara peneliti, industri, dan regulator. Peneliti harus melibatkan industri sejak awal penelitian untuk memastikan bahwa bahan baku yang digunakan dapat distandarisasi dan siap untuk diproduksi dalam skala besar.
Di samping itu, BPOM juga perlu berperan aktif dalam memberikan pendampingan sejak tahap perencanaan penelitian. Dengan demikian, peneliti dapat menyiapkan semua dokumentasi yang diperlukan dengan baik.
Agar penelitian tidak hanya berakhir sebagai publikasi ilmiah, Bambang menyarankan agar peneliti harus proaktif berkolaborasi dengan industri dan meminta pendampingan BPOM sejak awal.
Dia juga menyarankan untuk berkonsultasi tentang rencana penelitian kepada pihak industri untuk memahami kebutuhan pasar dan memastikan bahwa produk yang dikembangkan dapat diproduksi dalam skala besar.
Menurutnya, dengan melibatkan industri dan BPOM sejak tahap perencanaan, peneliti dapat memastikan bahwa hasil penelitian tidak hanya berhenti di laboratorium, tetapi juga dapat diwujudkan menjadi produk herbal yang aman, berkhasiat, dan siap dipasarkan.